Sosok beliau saya kenal bukanlah di bangku kuliah namun di ruang yang tak memiliki bangku, pesertanya pun datang dengan tulus tanpa harapan nilai akademik. Dalam kegiatan lembaga kemahasiswaanlah saya sering berjumpa beliau, selain itu disiplin ilmunya juga berbeda dengan disiplin ilmu yang saya tekuni. Walaupun peristiwa mal praktik yang menimpa dirinya menyebabkan hilangnya fungsi mata, ia tak patah arang untuk mencari ilmu dan semangat untuk berbagi ilmu. Saya pernah bertanya kepada dirinya, “ Kenapa Bapak tak menggugat dokter & rumah sakit yang menyebabkannya buta?” Ia dengan sabar menjawab, “Saya tidak percaya pada hukum di Indonesia” (pada zaman tersebut masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang tidak ditindak apalagi dalam kasus dunia kedokteran sangat jarang kita mendapati dokter diberi hukuman dalam kasus mal praktik karena yang berhak memvonis bersalah atau tidak yaitu dokter juga). Mungkin ia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk mengutuk kegelapan. “Buta bukanlah akhir dari segala-segalanya. Hidup tetap harus jalan, ilmu tetap harus dituntut hingga ke seberang sekalipun.” begitu katanya dengan wajah yang begitu teduh. Semangat ini terbukti ketika ia berhasil mencapai gelar doktor dengan keterbatasan inderanya. Tak hanya itu, ia aktif menjadi pembicara dalam sejumlah seminar, simposium, dan diskusi publik. Menulis di sejumlah surat kabar yang terbit di Indonesia. Di mata saya dan mahasiswa lainnya, almarhum dikenal sangat bersahabat, berani berkata benar, cerdas, dan punya hati nurani yang berpihak kepada kaum musthadafin. Beliau teman diskusi mahasiswa ketika menghalau kebijakan kampus yang ingin menswastanisasikan kampus negeri (Badan Hukum Pendidikan/BHP atau saat ini dinamakan BHMN/BLU, dari sekian banyak dosenm, ia sangat keras menentang BHP) yang dapat merugikan masyarakat dan mahasiswa.
Banyak kenangan dan pelajaran yang penting dari beliau susah saya lupakan. Kesederhanaannya tidak hanya tampak dari pakaiannya akan tetapi kediaman tempatnya bermukim (Jl.Tinumbu samping jembatan) juga menampakkan hal yang serupa. Ketika teman-teman ingin memanggilnya diskusi, saya senang ketika mendapat jatah tugas untuk menjemput beliau karena itu sama saja saya mendapat jatah waktu yang lama berdialektika ataupun mendengarkannya bercerita ihwal keluarganya. Dari cerita inilah nama Dilla, Bosnia, Chechnya, dan Kasmir kerap ia sebut. Kalau saya tidak salah ingat Dilla ini satu-satunya anak perempuan dan bersekolah di pesantren sedang mengikuti audisi ‘agama’ yang diselenggarakan oleh salah satu TV swasta. Pada momen itu salah satu teman sempat bergurau menanyakan jodoh anaknya kelak, berharap ia yang dijodohkan.
Ketika kegiatan pengaderan digelar, saya dan teman-teman tidak pernah absen mengundang beliau untuk memberikan pencerahan kepada mahasiswa baru dan panitia. Untuk menularkan ilmunya, kesederhanaannya, kehidupannya, keberaniannya, keberpihakannya, idealismenya, kesalehannya, produktivitas menulisnya dan banyak hal. Setelah ceramah biasanya kami panitia membawanya ke tempat khusus untuk bertanya berbagai hal. Saya pernah bertanya kepada beliau pandangannya tentang politik (karena ada beberapa teman pada saat itu sudah mulai terjun kedunia politik praktis). “Politik itu penuh dengan jenis binatang, harus hati-hati agar tidak tergelincir, coba anda perhatikan katak, kaki depannya siap menyikut, kaki belakangnya selalu siap melompat jika ada mangsa (baca:projek) dan matanya selalu melotot melihat keadaan sekitarnya” jelasnya tegas.
Saya pernah menuntunnya memasuki ruangan, memegang tangannya dengan tegang –karena hati-hati takut terjatuh – beliau menegur saya agar santai saja dan tidak tegang, “ Jika anda tegang saya juga ikut tegang” begitu tuturnya sambil tertawa. Matanya memang buta tapi hatinya tidak buta, ia melihat semangat membara anak muda untuk belajar dan berjuang, melihat penderitaan rakyat miskin yang menahan lapar karena mahalnya kebutuhan pokok, melihat kecemasan orang tua karena ongkos pendidikan menanjak tiap tahun, melihat para pejabat memamerkan kemewahan dan kekayaannya. Slogan yang paling sering dia pesankan ke mahasiswa “Jika engkau ingin jadi orang kaya, maka jangan jadi dosen, tapi jadilah pengusaha. Jika engkau ingin jadi politisi, jangan jadi dosen, tapi masuklah di partai politik. Jika engkau ingin jadi dosen, maka siaplah untuk hidup sederhana. Engkau (mahasiswa) jangan hanya mengurus kuliahmu, tapi juga perjuangkanlah nasib orang-orang lemah (orang tertindas)”.
Kematiannya di awal tahun 2008 membuat orang yang mengenalnya merasa kehilangan sosok suri teladan di tengah-tengah krisis keteladanan yang menimpa cendekiawan Makassar. Generasinya kini mengikuti jejaknya, Chechnya mengambil jurusan ilmu komunikasi yang digeluti Ayahnya. Ia masih sangat muda, namun secawan air telaga surga telah ia bawa untuk sang ayah. Bukankah Tuhan menjamin Surga untuk orang tua jika anaknya menghafal 30 juz Al-Qur’an? Semasa hidupnya, sosok Oemar Bakri seolah menjelma dalam dirinya, ketika ia menemui Sang Khalik saya hanya bisa merenungkan rangkaian kata demi kata lagu Iwan Fals: Bung Hatta.
Terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator Tercinta
Jujur, Lugu dan Bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat indonesia.
............
Idealismenya, perjuangannya, kesederhanaannya, jasanya dan pesannya tak akan saya lupakan. Al-Fatihah buatnya.
*(http://makassar.tribunnews.com /2014/08 /18/maba-unhas-hafal-30-juz-alquran)