Pertumbuhan ekonomi Makassar Tahun 2013 berada diangka 9,88% jauh dari pertumbuhan ekonomi dari wilayah lain, bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar 5,78%. Pada umumnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak dibarengi dengan penurunan angka kemiskinan dan penggangguran karena yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi hanyalah masyarakat kelas atas atau orang kaya yang semakin bertambah banyak dan bertambah kaya. Selain itu pertumbuhan ekonomi ini juga menandakan konsumsi masyarakat terus mengalami peningkatan signifikan. Mengonsumsi yang berlebihan merupakan ajaran baru masyarakat dewasa ini, menghabiskan waktu dan biaya untuk mengonsumsi barang nonsubstantif, needs (kebutuhan) dan greeds (keserakahan) menjadi samar-samar. Paradigma mengonsumsi sudah bergeser, masyarakat bukan lagi membeli barang/jasa berasaskan utilitas, kegunaan atau kebermanfaatan barang tetapi karena adanya citra, tanda dan simbol yang melekat pada barang tersebut. Contoh sederhananya seperti ini: tas fungsinya/utilitasnya untuk menyimpan barang, akan tetapi orang membeli tas bukan karena ingin meyimpan barang tapi karena merk, simbol, prestise, status – ingin dianggap gaul, ingin dianggap orang berkelas, ingin dikomentari tasnya, dan sebagainya. Secara tidak sadar budaya konsumsi terus diciptakan, diperbaharui dan dipelihara oleh masyarakat kapitalis melalui seperangkat alatnya (media, pemasaran, iklan dan film) agar pundi-pundi laba terus mengalir ke perusahaan-perusahaan.
Budaya simbol ini juga merembes ke ranah pendidikan, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sejatinya Kota Daeng selalu diserbu oleh anak-anak muda untuk mencari ilmu pengetahuan, khususnya yang berasal dari kawasan timur. Animo inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk membuat lembaga pendidikan baik yang formal maupun nonformal. Di tempat-tempat strategis telah bertaburan sekolah, kampus, lembaga pelatihan, kursus dan sejenisnya yang bersaing untuk merayu calon pengenyam pendidikan. Namun, sangat disayangkan meningkatnya pendidikan secara kuantitas tidak dibarengi dengan kualitas yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Calon pelajar khususnya mahasiswa kini lebih menyukai yang instan, cepat, praktis, atau bahkan tanpa proses. Parahnya, cara berpikir seperti ini dianggap sebagai peluang bagi kampus swasta karena ketatnya persaingan antar kampus. Kita bisa melihat kampus swasta tidak akan dilirik (laku) jika menerapkan aturan akademik yang ketat seperti: jadwal kuliah padat, dosen rajin masuk, banyak tugas, banyak membaca, menulis skripsi dan sebagainya. Semakin instan kampus tersebut maka semakin laku pulalah kampus itu.
Pemahaman masyarakat bahwa tujuan pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan hingga kini sulit dibendung, akibatnya ia jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri. Jangan heran banyak orang yang memiliki jejeran gelar yang menempel dinamanya tapi hilang “kemanusiaannya”. Melangit dalam tehnik tetapi merayap dalam etik, mampu menghancurkan gunung tetapi tak mampu mengikis hatinya yang keras, kaum mustadafhin yang begitu banyak angkanya hanya bisa dikalikan dengan berapa banyak proyek yang bisa dikorupsi, ahli menempatkan debet dan kredit, tetapi susah membedakan antara haram dan halal, air matanya lebih gampang bercucuran ketika menonton film korea, sinetron, reality show, gosip ketimbang saudaranya di Palestina, Irak, dan Suriah dibantai oleh Israel/ISIS laknatullah.
Di era kesemuan ini, gelar dan pekerjaan telah menjadi indikator kesuksesan bahkan kemanusiaan itu sendiri. Semakin “berpendidikan” seseorang manandakan semakin intelek /terdidiklah orang tersebut sehingga ditempatkan pada strata sosial yang tinggi. Semakin tinggi pangkat anda (ketika anda menjadi PNS/Polisi) maka anda sudah termasuk telah menjadi “orang”. Pendidikan yang ditancapkan di Indonesia sebagai basis utama dalam membentuk peradaban yang tercerahkan hanya menjadi simbol belaka. Calon mahasiswa melanjutkan jenjang pendidikan bukan karena pencerahan kemanusiaan tapi karena gelar, pekerjaan, prestise, status sosial, gengsi, citra. Siswa/tamatan SMU mengikuti bimbingan belajar di lembaga bimbingan belajar JYCL bukan karena ingin cerdas tapi ingin dianggap gaul, keren, tidak ketinggalan zaman. Begitupula lembaga bimbingan belajar sekarang yang mengajarkan cara instan menjawab soal pilihan ganda tanpa mengetahui asal mula/makna dari angka dan kalimat tersebut. Ikut kursus bahasa inggris bukan karena khazanah pengetahuan namun karena ingin citra, gaul, dianggap keren, go international dan sebagainya.
Ruang realitas inilah yang dinamakan oleh Baudrilliard sebagai simulacra di mana ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang benar, yang ideal, dan mana yang palsu, yang salah, yang semu. Citra, status, prestise menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Simulacra membuat sesuatu menjadi lebih asli dari yang asli, itu adalah cara bagaimana sebuah kenyataan sebenarnya terhapus. Sebuah simbol dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti yang diinginkan padahal sejatinya tidak demikian. Pendidikan kita kini berada pada dunia simulacra yang berarti pendidikan semu. Lebih penting mengejar gelar ketimbang mengejar ilmu itu sendiri, lebih memilih sekolah/bimbingan belajar/kursus di tempat yang terkenal (memiliki citra yang dapat meningkatkan prestise) ketimbang sekolah/bimbingan belajar/kursus yang sederhana namun berkarakter, sarat akan nilai-nilai universal, altruis, empati dan merakyat. Lebih penting tanda/simbol/citra ketimbang substansi dari sesuatu tersebut. Nyata/semu, baik/buruk, citra/fakta, dan benar/salah telah bercampur sehingga sulit lagi dibedakan. Fenomena ini bisa kita lihat dalam proses perkuliahan “Dosen baik itu ketika ia memberi nilai A kepada mahasiswa yang malas belajar, pasif, malas baca buku, jarang kumpul tugas dan malas masuk kelas. Mahasiswa baik itu ketika ia duduk manis dikelas, tidak bertanya, tidak kritis terhadap materi yang dibawakan dosennya, tidak mendebati dosennya karena dosenlah yang paling benar. Pengawas ujian yang baik itu ketika membiarkan mahasiswa menyontek, berbuat curang dan mendaratkan ‘kapal selam/pelampung’ di bawah mejanya. Itulah yang dimaksud dengan “baik”, konsep dan indikator baik/buruk sudah semakin kabur alias abu-abu. Baudrillard berkesimpulan bahwa dalam dunia kesemuan (simulacra) dianggap lebih nyata, ketimbang kenyataan. Dan kepalsuan dianggap lebih benar daripada sebuah kebenaran.
Indonesia membutuhkan pendidikan berkarakter yang tidak akan goyah bila ditempa badai budaya negatif dari luar, menjadi batu karang ditengah derasnya arus globalisasi yang berwatak kapitalistik, menjadi benteng dan filterisasi budaya konsumerisme yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal wajib hukumnya melakukan penanaman nilai – nilai luhur (Kejujuran, Nasionalisme, Altruisme, Keadilan, Empati, dll) kepada peserta didiknya tidak hanya mengejar keuntungan semata. Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS) hadir untuk menjawab realitas pendidikan (simulacra) yang terjadi saat ini. Saya yakin, FKBS tidak akan mendirikan lembaga pendidikan non formal seperti ini jika wataknya sama dengan lembaga – lembaga mainstream lainnya. Selain itu juga diisi oleh anak – anak muda yang militan, rela mengorbankan kebahagiaannya (standar kebahagiaan yang telah ditawarkan dunia), berbuat untuk kemajuan bangsa dan negara demi melanjutkan cita – cita para pendiri bangsa, dan tak patah semangat walaupun godaan untuk mengikuti arus mainstream selalu membayangi. Selamat Ulang Tahun FKBS, mari terus berkhidmat untuk menyenangkan hati Rasulullah SAW.
Makassar 25 Agustus 2014
(Tulisan ini untuk anniversary yang ke-2 FKBS)
http://o-m-g.info |
Pemahaman masyarakat bahwa tujuan pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan hingga kini sulit dibendung, akibatnya ia jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri. Jangan heran banyak orang yang memiliki jejeran gelar yang menempel dinamanya tapi hilang “kemanusiaannya”. Melangit dalam tehnik tetapi merayap dalam etik, mampu menghancurkan gunung tetapi tak mampu mengikis hatinya yang keras, kaum mustadafhin yang begitu banyak angkanya hanya bisa dikalikan dengan berapa banyak proyek yang bisa dikorupsi, ahli menempatkan debet dan kredit, tetapi susah membedakan antara haram dan halal, air matanya lebih gampang bercucuran ketika menonton film korea, sinetron, reality show, gosip ketimbang saudaranya di Palestina, Irak, dan Suriah dibantai oleh Israel/ISIS laknatullah.
Di era kesemuan ini, gelar dan pekerjaan telah menjadi indikator kesuksesan bahkan kemanusiaan itu sendiri. Semakin “berpendidikan” seseorang manandakan semakin intelek /terdidiklah orang tersebut sehingga ditempatkan pada strata sosial yang tinggi. Semakin tinggi pangkat anda (ketika anda menjadi PNS/Polisi) maka anda sudah termasuk telah menjadi “orang”. Pendidikan yang ditancapkan di Indonesia sebagai basis utama dalam membentuk peradaban yang tercerahkan hanya menjadi simbol belaka. Calon mahasiswa melanjutkan jenjang pendidikan bukan karena pencerahan kemanusiaan tapi karena gelar, pekerjaan, prestise, status sosial, gengsi, citra. Siswa/tamatan SMU mengikuti bimbingan belajar di lembaga bimbingan belajar JYCL bukan karena ingin cerdas tapi ingin dianggap gaul, keren, tidak ketinggalan zaman. Begitupula lembaga bimbingan belajar sekarang yang mengajarkan cara instan menjawab soal pilihan ganda tanpa mengetahui asal mula/makna dari angka dan kalimat tersebut. Ikut kursus bahasa inggris bukan karena khazanah pengetahuan namun karena ingin citra, gaul, dianggap keren, go international dan sebagainya.
Ruang realitas inilah yang dinamakan oleh Baudrilliard sebagai simulacra di mana ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang benar, yang ideal, dan mana yang palsu, yang salah, yang semu. Citra, status, prestise menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Simulacra membuat sesuatu menjadi lebih asli dari yang asli, itu adalah cara bagaimana sebuah kenyataan sebenarnya terhapus. Sebuah simbol dicitrakan sedemikian rupa menjadi seperti yang diinginkan padahal sejatinya tidak demikian. Pendidikan kita kini berada pada dunia simulacra yang berarti pendidikan semu. Lebih penting mengejar gelar ketimbang mengejar ilmu itu sendiri, lebih memilih sekolah/bimbingan belajar/kursus di tempat yang terkenal (memiliki citra yang dapat meningkatkan prestise) ketimbang sekolah/bimbingan belajar/kursus yang sederhana namun berkarakter, sarat akan nilai-nilai universal, altruis, empati dan merakyat. Lebih penting tanda/simbol/citra ketimbang substansi dari sesuatu tersebut. Nyata/semu, baik/buruk, citra/fakta, dan benar/salah telah bercampur sehingga sulit lagi dibedakan. Fenomena ini bisa kita lihat dalam proses perkuliahan “Dosen baik itu ketika ia memberi nilai A kepada mahasiswa yang malas belajar, pasif, malas baca buku, jarang kumpul tugas dan malas masuk kelas. Mahasiswa baik itu ketika ia duduk manis dikelas, tidak bertanya, tidak kritis terhadap materi yang dibawakan dosennya, tidak mendebati dosennya karena dosenlah yang paling benar. Pengawas ujian yang baik itu ketika membiarkan mahasiswa menyontek, berbuat curang dan mendaratkan ‘kapal selam/pelampung’ di bawah mejanya. Itulah yang dimaksud dengan “baik”, konsep dan indikator baik/buruk sudah semakin kabur alias abu-abu. Baudrillard berkesimpulan bahwa dalam dunia kesemuan (simulacra) dianggap lebih nyata, ketimbang kenyataan. Dan kepalsuan dianggap lebih benar daripada sebuah kebenaran.
Indonesia membutuhkan pendidikan berkarakter yang tidak akan goyah bila ditempa badai budaya negatif dari luar, menjadi batu karang ditengah derasnya arus globalisasi yang berwatak kapitalistik, menjadi benteng dan filterisasi budaya konsumerisme yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal wajib hukumnya melakukan penanaman nilai – nilai luhur (Kejujuran, Nasionalisme, Altruisme, Keadilan, Empati, dll) kepada peserta didiknya tidak hanya mengejar keuntungan semata. Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS) hadir untuk menjawab realitas pendidikan (simulacra) yang terjadi saat ini. Saya yakin, FKBS tidak akan mendirikan lembaga pendidikan non formal seperti ini jika wataknya sama dengan lembaga – lembaga mainstream lainnya. Selain itu juga diisi oleh anak – anak muda yang militan, rela mengorbankan kebahagiaannya (standar kebahagiaan yang telah ditawarkan dunia), berbuat untuk kemajuan bangsa dan negara demi melanjutkan cita – cita para pendiri bangsa, dan tak patah semangat walaupun godaan untuk mengikuti arus mainstream selalu membayangi. Selamat Ulang Tahun FKBS, mari terus berkhidmat untuk menyenangkan hati Rasulullah SAW.
Makassar 25 Agustus 2014
(Tulisan ini untuk anniversary yang ke-2 FKBS)
0 komentar:
Posting Komentar