Daftar Blog Inspirasi

Selasa, 02 September 2014

Asean Economic Community 2015 Wujud Baru Neoliberalisme (Part 3)

Apa hubungan Asean Economic Community dengan Neoliberalisme ?

     Asean Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN) merupakan salah satu bagian dari neo-liberalism hal ini terlihat dari Ideologi yang dianutnya yakni ideologi pasar bebas atau liberal. Sistem ekonomi neoliberal masih terlalu tangguh dan dominan pada percaturan ekonomi global, ia berhasil merasuki semua negara untuk menerapkan ajarannya. Secara terstruktur dan tersistematis mempengaruhi kebijakan – kebijakan strategis suatu Negara. Dengan alasan untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dunia pasca perang dunia II negara yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Inggris mengadakan suatu konferensi untuk membahas rancangan perekonomian dunia (Bretton Woods, New Hampshire, 1-22 Juli 1944) Suatu hal yang menjadi catatan sejarah penting dari konferensi ini terletak pada kesepakatan bahwa kerjasama ekonomi internasional harus berlandaskan pada suatu pasar dunia, dimana barang-barang dan modal dapat bergerak dengan bebas. Pada titik inilah tercermin komitmen yang kuat terhadap peranan entitas pasar yang menjadi inti dari liberalisme ditanamkan sebagai landasan tata kelola perekonomian dunia (Richard Peet dalam Mantra 2011). Dengan perekonomian yang bebas tersebut maka peperangan tidak akan terulang sehingga tercipta tatanan dunia yang aman dan sejahtera.

     Pengaruh Neoliberalisme bisa dilihat dari Organisasi Perdagangan Sedunia atau World Trade Organization (WTO) yang sebelumnya ada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian mengenai Tarif dan perdagangan kemudian dileburkan dalam WTO pada putaran Urugay (Urugay Round) , yaitu sebuah tahapan negoisasi perdagangan yang dimulai di Punta del Este, Urugay, pada September 1986 dan berakhir dengan perjanjian yang ditandatangani di Maarkech pada 15 April 1994, anggota WTO saat ini sebanyak 149 negara (Stiglitz, 2007). Perjalanan waktu para anggota WTO terus melakukan pertemuan seperti Di Seattle ,Washington 30 november 1999, (pertemuan berubah menjadi malaapetaka karena protes massa dalam jumlah besar dan perunindgan Uruguay banyak merugikan Negara – Negara berkembang dan hanya menguntungkan Negara maju) Doha Qatar November 2011 (Negoisasi ini juga gagal, Negara berkembang ragu akan meneruskan perjanjian akrena khawatir akan muncul kembali perjanjian dagang yang tidak seimbang ), Cancun September 2003 dan terakhir Hongkong 2005 Semua pertemuan berakhir diluar perkiraan akibat kekecewaan yang dialami Negara- Negara berkembang , sumbangsih yang diberikan sangatlah kecil , baik dalam menciptakan sebuah sistem perdagangan yang adil bagi Negara – Negara berkembang atau sesuatu yang aklan meningkatkan pembangunan (Stiglitz, 2007).

     Skema perdagangan multilateral mengalami kemunduran akibat gagalnya perjanjian yang dlakukan para anggota WTO. Namun, Kemandegan negosiasi perdagangan di dalam WTO tidak bermakna terhentinya upaya liberalisasi perdagangan dunia oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Dekade pasca berakhirnya Perang Dingin, dunia menyaksikan beberapa bentuk intensifikasi strategi liberalisasi perdagangan baru. Pertama, intensifikasi mekanisme kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreements/FTAs) yang bersifat bilateral. Kedua, integrasi perekonomian kawasan yang berlandaskan pada perdagangan bebas (gelombang kedua regionalisme). Ketiga, kesepakatan perdagangan bebas antar kawasan (inter-regional free trade agreements)(Mantra 2011).

     Untuk Kesepakatan perdagangan yang sifatnya bilateral (proses negosiasi perjanjian perdagangan antara dua Negara) Indonesia sudah melakukan kerjasama seperti Japan Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA), negara eropa, China, India, dan Australia. Perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dengan China, India dan Australia menarik lembaga International labour Organization melakukan penelitian dampak dari liberalisasi perdagangan (hubungan kerjasama) tersebut terhadap Indonesia . Dengan menggunakan Analisis Simulasi Social Accounting Matrix (SAM) dan the SMART Model menemukan beberapa kesimpulan yang terdiri dari (1) Untuk hubungan bilateral China dan Australia, penerapan liberalisasi perdagangan dalam bentuk pembebasan tarif impor menjadi 0 (nol) persen mengakibatkan Indonesia mengalami defi cit nilai perdagangan sebagai akibat peningkatan kinerja ekspor Indonesia akibat liberalisasi tersebut ke China dan Australia tidak melebihi peningkatan kinerja impor Indonesia dari dunia. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan output nasional, yang akhirnya menyebabkan penurunan kesempatan kerja. Sementara, untuk hubungan bilateral Indonesia dan India, pembebasan tarif impor sebagai wujud dari liberalisasi perdagangan mengakibatkan kenaikan output nasional dan akhirnya perluasan kesempatan kerja karena terjadi surplus nilai perdagangan sebagai akibat liberalisasi tersebut. (2) Untuk kasus hubungan bilateral Indonesia kepada tiga negara tersebut, apabila terjadi peningkatan kinerja ekspor akibat pembebasan tarif impor tersebut, sektor yang paling mendapatkan manfaat atau dampak positif dari peningkatan tersebut adalah sektor primer, yaitu sektor yang tergantung pada hasil bumi. Sementara sektor sekunder dan tersier mendapatkan dampak negatif liberalisasi tersebut sekalipun terdapat peningkatan kinerja ekspor.( http://www.ilo.org diakses 14 Juni 2014).

     Temuan di atas mengindikasikan persiapan dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia belum maksimal sehingga mengakibatkan kerugian bagi bangsa Indonesia. Indonesia hanya jago mengekspor Sumber daya alam yang mentah itupun hanya anugerah yang diberikan kepada Tuhan, seandainya Tuhan tidak meletakkan ciptaannya yang sangat berharga bagi manusia di tanah Indonesia kita tidak akan memiliki apa – apa lagi yang bisa dibanggakan karena dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitif pada sektor sekunder atau industri pengolahan dan tersier atau jasa bangsa Indonesia masih jauh tertinggal.

     Kesepakatan yang bersifat regional dimulai dari terbentuknya blok – blok perdagangan bebas yang dilakukan oleh Negara- negara untuk melakukan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area). Implementasi Free Trade Area didahului oleh preferential trading arrangements (PTA) antar negara-negara yang terlibat yaitu paket kerjasama hubungan dagang antar negara yang bertujuan untuk pengurangan tariff untuk sejumlah produk tertentu antar negara-negara yang menandatangani kerjasama tersebut. Kerjasama FTA adalah embrio dari terbentuknya integrasi ekonomi antar negara-negara yang terlibat. Beberapa FTA yang telah berjalan yaitu North American Free Trade Area (NAFTA), African Free Trade Zone (AFTZ) dan South Asia Free Trade Agreement (SAFTA) ( http://www.ilo.org diakses 14 Juni 2014).

     Di kawasan Asia Tenggara dikenal istilah AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang bermetamorfosis menjadi ASEAN Economic Community (AEC), prinsip dan aturan yang diterapkan di AEC hampir sama yang diterapkan di WTO/GATT seperti aturan dalam Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang terkait dengan harmonisasi perdagangan atau pengakuan dari negara yang bersepakat. Pengakuan diperlukan dalam perdagangan barang dan jasa untuk memfasilitasi perdagangan barang dan jasa tersebut. Pengakuan yang dimaksud disini adalah pengakuan terhadap persyaratan-persyaratan kualifikasi dan standar-standar teknis. AEC memakai istilah MRA mengikuti apa yang dibahas dalam perjanjian GATS/WTO pada pasal VII.(lihat Direktorat Perdagangan & Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri RI). 

     Dalam upaya meningkatkan liberalisasi perdagangan jasa  GATS (General Agreements on Trade in Services) menganut beberapa prinsip utama yaitu: yaitu prinsip non-diskriminasi yang terdiri dari most favoured nation principle (MFN Principle) dan national treatment, prinsip liberalisasi akses pasar, serta prinsip transparansi. Selain itu, GATS secara rinci mengatur ruang lingkup perdagangan jasa yang menjadi acuan utama dalam implementasi liberalisasi sektor jasa yang dilakukan tidak hanya di level internasional tetapi juga di level regional dan bilateral. dalam Pasal 1 dan 2 yang meliputi empat mode pasokan yaitu: (Keliat Makmur, dkk, 2013)
  1. Mode 1 adalah pasokan lintas batas (cross border supply) yaitu penyediaan jasa di dalam suatu wilayah negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota lainnya. 
  2. Mode 2 adalah konsumsi luar negeri (consumption abroad) yaitu penyediaan jasa dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya.
  3. Mode 3 adalah kehadiran komersial (commercial presence) yaitu penyediaan jasa oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadiran perusahaan jasa di dalam wilayah negara anggota lainnya.
  4. Mode 4 adalah pergerakan manusia (movement of natural person) yaitu pernyediaan jasa oleh penyedia jasa dari satu negara anggota melalui kehadiran natural person dari suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota.
     Terbentuknya perdagangan regional ini didorong oleh kekuatan pasar sebagaimana definisi dari regionalisasi yang dikemukakan oleh Pronk Jan (dalam Arifin,2007) Regionalisasi adalah upaya penyatuan perekonomian yang didorong oleh pasar dan biasanya didorong oleh kekuatan pasar dan perkembangan tekhnologi yang sama dengan proses globalisasi). Sedangkan menurut Lamberte (dalam Arifin 2007) regionalisasi merupakan upaya penyatuan perekonomian yang didorong oleh pasar yang dimulai dari proses reformasi perekonomian ssecara unilateral dimasing – masing Negara dalam suatu kawasan . Hal yang penting dan mendasar jika kita melihat isi dari blue print masyarakat ekonomi ASEAN adalah prinsip liberalisasi dari berbagai sektor(jasa, perdagangan, modal, investasi, dan pekerja terampil) . Liberalisasi sendiri merupakan unsur utama dari ajaran Neoliberalisme. Liberalisasi yang sudah dan sedang berlansung di Indonesia sebelum AEC masuk memiliki traumatik terhadap kondisi perekonomian Indonesia. 


Ada Apa dengan Liberalisasi ?
(Bersambung...)

0 komentar:

Posting Komentar