Drama demi drama kekerasan yang terjadi di Kota Makassar silih berganti tanpa ada penyelesaian bagaikan sinetron yang selalu berganti judul namun alur cerita dan pemeran memiliki karakteristik yang sama. Seorang teman perempuan yang pulang larut malam dari aktivitasnya dirampas kendaraan motornya. Sebelumnya, seorang teman ditodong di pinggir jalan, semua isi dompet dan handphone miliknya dilucuti. Sebelumnya lagi, seorang teman ketika melintas di sekitar Jl. Alauddin ditebas tangannya. Sebulan lalu, salah satu minimarket dan rumah tetangga saya dimasuki rampok berkedok genk motor. Cerita ini belum seberapa dibanding akumulasi peristiwa yang hampir saban hari dikisahkan orang-orang terdekat, serta apa yang menjadi tranding topic di media sosial (#makassar tidak aman) begitupula yang diberitakan Koran harian fajar “Makassar mencekam”( Minggu,22 Februari 2015) . Kekerasan ini seolah menjadi peristiwa yang massif, bukan lagi kasustik.
Ekstasi Penghancuran
Dari kasus-kasus yang terjadi memiliki ciri-ciri yang serupa seperti, pelakunya rata-rata remaja , busur menjadi alat andalan, serta dilakukan dengan penuh kegembiraan (tanpa penyesalan). Rentetan kekerasan ini seolah menjadi jelmaan dari apa yang dikatakan Erich Fromm (1973) sebagai tindakan ekstasi penghancuran –tindakan/proses penghancuran yang diiringi oleh ketidakacuhan dan kegembiraan. Gejala serupa ditunjukkan oleh para pengonsumsi/pencandu ekstasi yang memasuki keadaan di luar kesadaran diri, menjadi sesuatu yang lain karena adanya satu kekuatan sebagai pengendali. Dalam konteks kekerasan di Makassar, fenomena seperti gerombolan remaja lengkap dengan sepeda motor masing-masing, berteriak, memperlihatkan keriangan atau kepuasan puncak setelah melakukan tindak kekerasan, semua itu adalah sebuah tampakan ekstasi penghancuran. Setali tiga uang, masyarakat pun merasakan ekstasi yang sama ketika mereka merasa puas dengan aturan main kekerasan versus kekerasan, sehingga pada akhirnya semua pihak akan masuk dalam pusaran ekstasi kekerasan. Kala kekerasan ini terus berlangsung, lambat laun akan menjadi sebuah kebiasaan, menjadi ritual, kemudian berubah menjadi budaya kekerasan. Kekerasan menjadi sesuatu yang ringan, murah, gampang dan dianggap biasa, meskipun menyebabkan kematian.
Busur
Bentuknya menyerupai ketapel dengan bahan pelontar selang infus yang mampu melejitkan besi/anak busur dengan daya mematikan. Anak busurnya terbuat dari besi, kira-kira berukuran 15 cm yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ujungnya runcing bercabang seperti mata kail pancing, tepat di bagian belakang besi tersebut diikatkan rumbai dari tali plastik/rafia yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan lajunya. Entah dari mana asal usulnya, yang pasti busur telah menjadi salah satu senjata tradisional khas Makassar yang digunakan untuk melakukan tindak kekerasan.
Busur kini tak mengenal lagi ruang dan waktu, jika dahulu keberadaan busur hanya di tempat-tempat yang sering terjadi konflik dan penggunaannya hanya di hari atau jam-jam tertentu. Tapi kini sudah melewati batas-batas teritorial, busur kita dapat jumpai di mana-mana, Manggala, Panakukang, Tamalanrea, dll. Ia juga melintasi waktu , ia hadir tak hanya di malam gelap gulita tapi juga di siang terang benderang. Busur seperti smartphone yang penggunaannya tak mengenal usia, dahulu busur digunakan orang-orang dewasa untuk berperang, sekarang lebih didominasi oleh anak-anak dan remaja. Ketika busur itu menancap ditubuh sangat susah untuk dicabut karena memiliki ujung yang bercabang dan perlu penanganan khusus medis. Busur tidak hanya meninggalkan bekas luka secara fisik tapi ia juga meninggalkan bekas ‘hati’ yang perih. Betapa tidak, si korban tak bersalah namun menjadi sasaran kekerasan dan ditambah tak mendapat kejelasan hukum karena para pelakunya lihai, cepat melesat seperti kecepatan busur yang tak dapat dilihat oleh mata aparat. Busur sudah menjadi bagian dari dunia kekerasan, kekerasan tak lezat tanpa adanya busur. Busur bagaikan pil ekstasi yang menyenangkan bagi remaja, menancapkan pada tubuh seseorang merupakan pengalaman yang luar biasa, membuatnya melayang-layang penuh kebanggaan.
Kekuatan Abstrak
Melihat kekerasan yang terus berlansung di kota yang menuju “kota dunia” ini, masyarakat mulai merasakan ada kekuatan-kekuatan yang tak tampak dan aktor-aktor tak dikenal yang memproduksi “busur”, horor, ketakutan dan kekerasan di tengah kerukunan bermasyarakat. Kekuatan yang wujudnya abstrak mengikis nilai-nilai sosial, kultural, moral dan spiritual, kemudian menggantikan nilai-nilai luhur itu menjadi nilai-nilai kekerasan, kebrutalan dan kesadisan. Jika dianalisis secara mendalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada rezim orde baru seperti ninja, teror, konflik, penjarahan sengaja diciptakan untuk mengacaukan wilayah, sehingga dengan alasan pengamanan pada saat itu, ABRI menjadi sangat dibutuhkan sebagai pelindung masyarakat. Mungkin saja teror, kejahatan, kekerasan, busur yang terjadi akhir-akhir ini sengaja dibiarkan atau diciptakan berdasarkan skenario tertentu namun memiliki motif dan kepentingan yang berbeda seperti ekonomi, politik, kekuasaan dan lain sebagainya. Yasraf A.Piliang, seorang pakar semiotika, mengatakan kekerasan dan horor yang beroperasi di atas tubuh bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari peran para perancang kekerasan yang bisa berupa individu, kelompok, atau negara. Kekerasan kini menjadi bagian yang menyatu dengan proses pencarian dan pelanggengan kekuasaan.
Diperlukan penanganan yang serius, cepat dan komprehensif semua stakeholder khususnya pemerintah dan aparat keamanan untuk menangani kekerasan ini, sehingga masyarakat merasakan “kehadiran” negara, tidak hanya dalam dimensi material (fisik) semata. Karena Pembangunan fisik sejatinya merupakan manifestasi ide yang berspirit energi-energi positif, ketika pembangunan fisik dibiarkan berjalan sendiri tanpa dilandaskan spirit tersebut, niscaya ia hanya akan bersifat dekstruktif dalam peradaban.
Ekstasi Penghancuran
Dari kasus-kasus yang terjadi memiliki ciri-ciri yang serupa seperti, pelakunya rata-rata remaja , busur menjadi alat andalan, serta dilakukan dengan penuh kegembiraan (tanpa penyesalan). Rentetan kekerasan ini seolah menjadi jelmaan dari apa yang dikatakan Erich Fromm (1973) sebagai tindakan ekstasi penghancuran –tindakan/proses penghancuran yang diiringi oleh ketidakacuhan dan kegembiraan. Gejala serupa ditunjukkan oleh para pengonsumsi/pencandu ekstasi yang memasuki keadaan di luar kesadaran diri, menjadi sesuatu yang lain karena adanya satu kekuatan sebagai pengendali. Dalam konteks kekerasan di Makassar, fenomena seperti gerombolan remaja lengkap dengan sepeda motor masing-masing, berteriak, memperlihatkan keriangan atau kepuasan puncak setelah melakukan tindak kekerasan, semua itu adalah sebuah tampakan ekstasi penghancuran. Setali tiga uang, masyarakat pun merasakan ekstasi yang sama ketika mereka merasa puas dengan aturan main kekerasan versus kekerasan, sehingga pada akhirnya semua pihak akan masuk dalam pusaran ekstasi kekerasan. Kala kekerasan ini terus berlangsung, lambat laun akan menjadi sebuah kebiasaan, menjadi ritual, kemudian berubah menjadi budaya kekerasan. Kekerasan menjadi sesuatu yang ringan, murah, gampang dan dianggap biasa, meskipun menyebabkan kematian.
sumber: tribunnews.com |
Bentuknya menyerupai ketapel dengan bahan pelontar selang infus yang mampu melejitkan besi/anak busur dengan daya mematikan. Anak busurnya terbuat dari besi, kira-kira berukuran 15 cm yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ujungnya runcing bercabang seperti mata kail pancing, tepat di bagian belakang besi tersebut diikatkan rumbai dari tali plastik/rafia yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan lajunya. Entah dari mana asal usulnya, yang pasti busur telah menjadi salah satu senjata tradisional khas Makassar yang digunakan untuk melakukan tindak kekerasan.
Busur kini tak mengenal lagi ruang dan waktu, jika dahulu keberadaan busur hanya di tempat-tempat yang sering terjadi konflik dan penggunaannya hanya di hari atau jam-jam tertentu. Tapi kini sudah melewati batas-batas teritorial, busur kita dapat jumpai di mana-mana, Manggala, Panakukang, Tamalanrea, dll. Ia juga melintasi waktu , ia hadir tak hanya di malam gelap gulita tapi juga di siang terang benderang. Busur seperti smartphone yang penggunaannya tak mengenal usia, dahulu busur digunakan orang-orang dewasa untuk berperang, sekarang lebih didominasi oleh anak-anak dan remaja. Ketika busur itu menancap ditubuh sangat susah untuk dicabut karena memiliki ujung yang bercabang dan perlu penanganan khusus medis. Busur tidak hanya meninggalkan bekas luka secara fisik tapi ia juga meninggalkan bekas ‘hati’ yang perih. Betapa tidak, si korban tak bersalah namun menjadi sasaran kekerasan dan ditambah tak mendapat kejelasan hukum karena para pelakunya lihai, cepat melesat seperti kecepatan busur yang tak dapat dilihat oleh mata aparat. Busur sudah menjadi bagian dari dunia kekerasan, kekerasan tak lezat tanpa adanya busur. Busur bagaikan pil ekstasi yang menyenangkan bagi remaja, menancapkan pada tubuh seseorang merupakan pengalaman yang luar biasa, membuatnya melayang-layang penuh kebanggaan.
Kekuatan Abstrak
Melihat kekerasan yang terus berlansung di kota yang menuju “kota dunia” ini, masyarakat mulai merasakan ada kekuatan-kekuatan yang tak tampak dan aktor-aktor tak dikenal yang memproduksi “busur”, horor, ketakutan dan kekerasan di tengah kerukunan bermasyarakat. Kekuatan yang wujudnya abstrak mengikis nilai-nilai sosial, kultural, moral dan spiritual, kemudian menggantikan nilai-nilai luhur itu menjadi nilai-nilai kekerasan, kebrutalan dan kesadisan. Jika dianalisis secara mendalam kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada rezim orde baru seperti ninja, teror, konflik, penjarahan sengaja diciptakan untuk mengacaukan wilayah, sehingga dengan alasan pengamanan pada saat itu, ABRI menjadi sangat dibutuhkan sebagai pelindung masyarakat. Mungkin saja teror, kejahatan, kekerasan, busur yang terjadi akhir-akhir ini sengaja dibiarkan atau diciptakan berdasarkan skenario tertentu namun memiliki motif dan kepentingan yang berbeda seperti ekonomi, politik, kekuasaan dan lain sebagainya. Yasraf A.Piliang, seorang pakar semiotika, mengatakan kekerasan dan horor yang beroperasi di atas tubuh bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari peran para perancang kekerasan yang bisa berupa individu, kelompok, atau negara. Kekerasan kini menjadi bagian yang menyatu dengan proses pencarian dan pelanggengan kekuasaan.
Diperlukan penanganan yang serius, cepat dan komprehensif semua stakeholder khususnya pemerintah dan aparat keamanan untuk menangani kekerasan ini, sehingga masyarakat merasakan “kehadiran” negara, tidak hanya dalam dimensi material (fisik) semata. Karena Pembangunan fisik sejatinya merupakan manifestasi ide yang berspirit energi-energi positif, ketika pembangunan fisik dibiarkan berjalan sendiri tanpa dilandaskan spirit tersebut, niscaya ia hanya akan bersifat dekstruktif dalam peradaban.