Rahim
kini berdendang.
Bukaan 10, ciri penerus sejarah manusia.
Pecah,
membasahi sarung ruh.
Plasenta
muncul disusul adzan yang berkumandang
Arus
bahagia yang sedari tadi tertahan kini termanifestasi.
Puluhan
tahun kemudian…
Diantara kata kata terdapat ruang kosong yang melulu lantahkan malamku. Duka
yang tak kunjung henti memberikan lipatan pada kertas putih sebagai penanda
untuk selalu membersih.
Pulas,
momen ini yang sering kali tak terlewatkan.
Melihatmu
tertidur.
Rona
manismu menyatu dengan ketawadduan.
Bulir
bulir yang tak berwarna, jatuh begitu saja mengenai tangan yang berlemak itu.
Karena
robek.
Tak
layak sebenarnya kekasih memakai pakaian yang berulang kali disulam hingga kainnya
tak sanggup lagi diperlakukan begitu terus.
Tak
senada dengan wajahmu.
Walaupun
kau memahami “Tri Dharma” sekali lagi itu sangat tidak layak.
Aku sudah lupa kapan terakhir kali kita bersama mencari
penghangat tubuh. Yang kuingat hanyalah dua.
Pertama, ketika kita berjalan untuk selalu memakai
kacamata kuda serambi mengamini kata Pram “Dinegara Demokrasi ketika engkau tidak punya uang, maka engkau akan
lumpuh tidak bisa bergerak. Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang
yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tidak punya uang, engkau hanya boleh
menonton barang yang engkau ingini itu”
Dan
Kedua, hanyalah sepatu yang malah membuat kaki lipatmu terkelupas.
Maafkan
aku.
Terimakasih
telah menemaniku bersama kehidupan yang tak terstandarisasi oleh dunia. Dimana teman
kecilku selalu berkata “tak masuk akal” yang menurut saya “akalnya
mereka tak bisa menerima”.
Terimakasih
untuk tidak menunggu jadi kaya baru bisa berkhidmat.
Tak
ada yang lebih indah daripada kehadiranmu dimuka bumi ini.
Tak
ada yang lebih lembut daripada tajalli Tuhan yang terpatri dalam dirimu
Tak
ada yang lebih mesra daripada bibirmu yang selalu mengingatkanku pada Nabi.
Ini
bukan Doa
Karena
aku tak pernah cuti mendoakanmu.
Selamat Ulang Tahun sayang. Maafkan jika mencintaimu
dengan sangat sederhana.