Daftar Blog Inspirasi

Minggu, 15 Juni 2014

ASEAN Economic Community 2015 Wujud baru Neoliberalisme (Part 1)

Globalisasi dan Neoliberalisme

      Jatuhnya Presiden Soekarno yang menganut sistem “perekonomian tertutup” menjadi babak baru bagi perjalanan bangsa Indonesia khususnya dibidang ekonomi. John Pilger dalam film dokumenternya mengatakan terbukanya pintu “Upeti terbesar di Asia” bagi bangsa barat. Kran Globalisasi mengalir begitu deras akibat sistem perekonomian yang dianut oleh rezim Orde Baru. Globalisasi memberikan janji akan mensejahterakan rakyat, menyatukan seluruh manusia dari segala ras, dapat mengurangi kemiskinan, menciptakan kekayaan secara merata diseluruh Negara. Secara etimologi Globalisasi berasal dari kata global/globe yang berarti dunia dan sasi berarti proses. Jadi Globalisasi merupakan suatu proses mendunia. Thomas L. Friedman (2006) mengatakan Globalisasi memiliki dimensi ideologi dan tekhnologi. Dimensi ideologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi tekhnologi adalah tekhnologi informasi yang telah menyatukan dunia. Dengan adanya Globalisasi justru dunia semakin kecil, Yasraf Amir Piliang (2008) memaparkan perihal “terlipatnya” ruang dan waktu. Transaksi jual beli dan komunikasi sosial bisa kapan saja dan dimana saja. konsekuensi logis dari pelipatan ini yaitu terlipatnya juga berbagai hal seperti: nilai, pola konsumsi, budaya cara pandang dan kemudian realitas itu sendiri ( realitas bisa terlipat sedemikian rupa sehingga yang nampak bukan realitas sesungguhnya bahkan melampaui realitas itu sendiri).

     Globalisasi tidak bisa dipisahkan dengan Neoliberalisme, ia ibarat dua sisi koin. Dibalik Globalisasi ada agenda – agenda Neoliberalisme yang ingin diterapkan ke seluruh dunia. Sesuai dengan namanya Neoliberalisme merupakan bentuk baru atau penyempurnaan dari paham ekonomi pasar liberal, sebagai salah satu varian dalam naungan kapitalisme, sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme klasik (Revrisond Baswir, 2009). Sebagaimana kita ketahui bersama mazhab klasik tidak banyak menganalisis masalah pengangguran, inflasi dan ketidakstabilan perekonomian karena sangat yakin terhadap sistem pasar tersebut. Sistem pasar bebas akan membuat penyesuaian – penyesuaian yang menyebabkan masalah – masalah tersebut akan lenyap dengan sendirinya dan pertumbuhan ekonomi yang teguh akan berlangsung kembali (Sadono Sukirno, 2010). Mazhab ekonomi pasar liberal yang dipelopori oleh Adam Smith (karyanya The Wealth of Nations, 1776) ini mulai ditinggalkan setelah perekonomian dunia mengalami depresi besar sekitar tahun 1930 karena tidak mampu mengatasi masalah – masalah tersebut. Dari peristiwa tahun 1930 inilah kemudian para penganut ajaran liberal ini mulai memperbaiki kesalahan dan kelemahan sebelumnya sehingga muncul neo (baru) –liberalis. Perdagangan bebas dan liberalisasi pasar modal adalah dua komponen penting dari neoliberalisme, untuk menerapkan ajaran dan kebijakannya yang lebih luas Departemen Keuangan USA bersama Internatiaonal Monetary Fund (IMF) (berlokasi di 19th street), Bank Dunia (World Bank) (di18th Street) dan U.S Treassury (di 15th street) mengatur beberapa perangkat kebijakan terbaik yang akan meningkatkan pembangunan yang dikenal dengan Konsensus Washington (Stiglitz, 2007). IMF bertujuan untuk menjamin stabilitas ekonomi global dan menyediakan dana pinjaman untuk negara-negara anggotanya yang mengalami ketidakstabilan ekonomi sehingga negara tersebut bisa memperbaiki perekonomiannya. Sedangkan Bank Dunia bertujuan untuk membantu negara-negara dalam membangun infrastruktur seperti jembatan, jalanan, perairan, dan sebagainya. Dengan bantuan tersebut kemiskinan di dunia dapat teratasi.

     Hadirnya perusahaan – perusahaan Transnastional / Multinational (TNC/MNC) di Negara maju memiliki pegaruh yang sangat besar dalam kancah liberalisasi perdagangan dunia. MNC merupakan perusahaan yang berpusat disatu negara dan perusahaan itu memiliki kegiatan produksi atau pun pemasaran cabang di negara – negara lain. Amerika Serikat dan sekutunya sebagai Negara adidaya yang berhasrat menguasai dunia banyak melakukan kerjasama di Negara – Negara dunia khususnya untuk Negara – Negara berkembang dengan mendirikan MNC di Negara tersebut. Untuk melancarkan aksinya Amerika Serikat dan Negara Barat membuat semacam polisi perdagangan dunia yang disebut WTO (World Trade Organization) yang mengatur lalu lintas perdagangan , membuat aturan perdagangan, dan lainnya.

      Salah satu strategi jitu agar IMF,WB, TNC, bisa diterima ke Negara - Negara dunia ketiga adalah dengan memberikan bantuan utang luar negeri. Utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumber daya yang bebas persyaratan (Hayter dalam Baswir, 2009). “Tak ada makan siang yang gratis” ungkapan ini mungkin tepat untuk Negara yang menerima bantuan. Menurut hayter hal – hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi; (a) Pembelian barang dan jasa dari Negara pemberi pinjaman, (b) Peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu seperti, nasionalisasi perusahaan asing dan, (c) Permintaan untuk melakukan kebijakan – kebijakan ekonomi “yang dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi. Untuk menerapkan aksi tersebut Amerika Serikat melalui Badan Keamanan Nasionalnya secara rahasia dan terstruktur membuat suatu jenis profesi yang bernama Economic Hit Man atau bandit – bandit ekonomi. Tugasnya adalah bagaimana menghisap Negara-Negara Dunia ketiga dengan sarana utang luar negeri. Economic Hit Man merupakan profesional berpenghasilan sangat tinggi yang menipu Negara - Negara di seluruh dunia triliunan dolar. Mereka menyalurkan uang dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi bantuan luar negeri lainnya yang menjadi dana corporasi – corporasi raksasa dan pendapatan beberapa kelurga kaya yang mengendalikan sumber – sumber daya alam planet bumi ini. Sarana mereka meliputi laporan keuangan yang menyesatkan, pemilihan yang curang, penyuapan, pemerasan, seks, dan pembunuhan (John perkins, 2005). Utang menjadi senjata modern dalam memenangkan pertempuran ekonomi dunia. Dalam istilah Dr. Ichsanuddin Noorsy, utang adalah suatu sarana ampuh untuk mencekik leher suatu bangsa. Sehingga suatu bangsa tercekik atau tidak tercekik itu tergantung pada besar atau kecilnya utang. Utang bukan sekadar membantu atau untuk mengatasi kemiskinan, tapi utang justru untuk tetap memenjarakan suatu bangsa dalam posisi ketakberdayaan, disempowering cause of foreign debt, ketakberdayaan karena pinjaman luar negeri.

      Di Indonesia sendiri penerapan agenda – agenda neolib terjadi secara menyeluruh setelah krisis moneter tahun 1997/1998 , walaupun yang menyebabkan krisis ekonomi tersebut akibat ulah IMF itu sendiri yang memerintahkan Pemerintah untuk melakukan penutupan 16 Bank yang tidak disertai perlindungan terhadap nasabah sehingga menyebabkan “rush”. Setelah itu IMF kembali memerintahkan untuk dilakukan penerbitan BLBI dan Obligasi rekap sebagai rekayasa untuk menyelamatkan sektor perbankan sehingga bertambahlah utang Indonesia. Entah apa dalam benak para pejabat Indonesia pada zaman itu sehingga masih mau menerima tawaran/resep dari dokter ekonomi IMF tersebut yang nyata – nyata melakukan “mall praktik” tapi masih menurutinya dengan skema SAP (Structural Adjusment Program) atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah: (1) Liberalisasi perdagangan, (2) Privatisasi/swastanisasi BUMN, (3) Penghapusan subsidi , (4) Liberalisasi keuangan. Selain IMF dan World Bank yang sering memberikan bantuan ke Indonesia ada juga lembaga Multilateral lainnya seperti Asian Development Bank (ADB) dan Consultative Group On Indonesia (CGI), mekanismenya sama dengan IMF dan World Bank harus dengan persyaratan – persyaratan tertentu. Tahun 2003 Kontrak Pemerintah Indonesia dengan IMF berakhir namun dengan syarat IMF masih perlu melakukan Post Program Monitoring (PPM) hingga tahun 2007.

       Prinsip dasar dari Neoliberalisme adalah persaingan bebas dan intervensi pemerintah mengenai kegiatan ekonomi diperkecil bahkan tidak ada sama sekali. Ajaran tersebut ingin disebarluaskan kesegala penjuru Dunia termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia sebagai Negara yang sangat seksi di mata Negara Barat memiliki keunikan dalam hal sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sehingga banyak perusahaan TNC/MNC terjun bebas mengambil kekayan alam Indonesia dalam bentuk Investasi, mendirikan pabrik/usaha, berusaha mengambil alih usaha – usaha yang paling mendasar bagi kebutuhan rakyat Indonesia, dan mempekerjakan masyarakat dengan upah murah. Bersaing tanpa ada “aturan”, perusahaan lokal bersaing dengan perusahaan yang didukung modal yang tidak terbatas serta kecanggihan tekhnologi yang dimiliki perusahaan MNC/TNC, produk lokal yang masih banyak memiliki kelemahan bersaing dengan produk impor yang hampir tidak memiliki kelemahan. Begitukah persaingan yang adil ?

Asean Economic Community 

Bersambung.......

0 komentar:

Posting Komentar