Tak ada yang berubah di kehidupan ‘philosophia’ selain keberadaannya yang menambah cahaya.
Aktivitas
kami seperti biasa dan tak ada yang istimewa. Sudah saatnya kami
menggangu aktivitas ini dengan berbulan madu. sekaligus merealisasikan
salah satu kesepakatan pernikahan kami.
Bulan madu tak
mesti ke luar negeri atau di Bali yang membutuhkan biaya besar, toh di
google tak ada definisi bahwa bulan madu adalah sepasang kekasih setelah
menikah pergi ke luar negeri atau ke Bali, ke Lombok atau tempat
wisata lainnya. Begitu pula tak ada definisi mutlak mengenai bulan madu,
juga sangat disayangkan kenapa bulan madu diidentikkan dengan “seks”.
Biarlah orang – orang di luar sana mendefinisikannya , kami punya cara
sendiri menafsirkan bulan madu
Persis di kaki Gunung
Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, lembah indah terbentang.
Hijau, permadani hijau terhampar luas. Lembah itu bernama Ramma. Butuh
waktu minimal 4 jam untuk mencapai lembah ini dari pemukiman warga,
melewati perbukitan dan beberapa sungai, tapi perjalanan harus kami
lalui dengan delapan jam karena sebagian rombongan adalah pendaki pemula
termasuk kami ,dan seorang kawan (identitas disembunyikan) ‘sakit’
karena lelah dalam perjalanan ditambah lagi dengan penglihatan yang
terbatas karena kami berangkat pukul 01.00 malam.
Bagi pecinta gunung dan alam, (kami bedakan gunung dan alam karena alam tidak sama dengan gunung) mungkin Ramma bukanlah
track
yang menantang tapi bagi kami − yang baru belajar mendaki gunung
adalah pengalaman yang bermakna. Sungguh Tuhan Maha Pencipta, Maha
Rendah Hati mengkhendaki kita memaknai Maha Karya-Nya nan Agung.
Perjalanan
membawa kami mengingat karya Dee: Akar. Petualangan bodhi menemukan
“kesejatian” dan terus mencari dari mana asalnya, dari manakah akarnya?
hampir setengah perjalanan yang kami lewati dihabiskan berkenalan dengan
akar karena Kami sangat merasakan manfaat dari Akar pohon. Di daerah
pegunungan selain berfungsi untuk menyokong dan memperkokoh berdirinya
pohon , ia juga berfungsi untuk menahan tanah dan batu agar tak longsor.
Tak hanya itu ,Akar inilah yang menjadi penolong kami agar tak jatuh
ataupun tepeleset. Walaupun terus diinjak bahkan sampai rapuh mereka
membantu kami(pendaki) menelusuri,menapaki,mendaki dan memanjat untuk
mencapai tujuan. Dulu kami memahami fungsi akar pohon hanya sebatas
pengetahuan saja , kini kami merasakan dan meresapi langsung
kegunaannya. Sama ketika kita cuma mengatakan “kita harus sabar” tapi
ketika mendapatkan cobaan maka makna dari sabar itu kita bisa rasakan
langsung dan berbeda pemaknaannya tanpa adanya cobaan. Tanpa akar pohon
akan mati karena tak ada yang mengangkut air dan zat-zat makanan yang
ada dalam tanah, Tanpa akar kami akan mati karena tak ada yang
mengangkut jiwa – jiwa yang pongah ini.
Perjalanan semakin menantang karena langit malam menjatuhkan bulir-bulir air.
Hujan yang
tak henti seolah mengikis watak keras kepala kami dengan kelembutan,
seperti batu yang keras dijatuhi air berulang ulang . Kondisi ini
diperkuat oleh hadirnya
Dingin yang menandakan simbol
meredam api amarah selama kita hidup dikota , semakin dingin maka
semakin kita memaknai bahwa kita sering meluapkan amarah.
Ada lima aliran
sungai
kecil yang kami lalui untuk mencapai ramma, disetiap sungai itulah
kami membasahi kerongkonan yang sedari tadi kering. Aliran sungai yang
kami jumpai pastinya tak lurus memanjang ,ia seperti ular yang berbelok
belok , tentunya punya maksud agar bisa bermanfaat bagi stakeholder
alam sekitar seperti burung , sapi,anjing,tumbuhan, terutama
manusia.Pertanyaannya , Apakah kita juga bermanfaat bagi penghuni alam
?. Kebeningan dan kejernihan air di perjalanan ini mengajarkan kami
untuk menejernihkan hati dan pikiran kita, (kebohongan,keangkuhan,
kesombongan,keegoan) begitupula dengan salah satu pesan Imam Syafii “Aku
melihat air menjadi rusak karena diam tertahan jika mengalir menjadi
jernih , jika tidak, kan keruh mengenang” yang berpesan bahwa ilmu yang
dimiliki seharusnya dialiri ke orang lain agar tak keruh dan rusak.
Aliran-aliran air kecil bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya
menjadi sungai ini menggambarkan bahwa kelompok-kelompok kecil akan
menjadi kuat bila bersatu. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya perlu
saling membantu. Air mengalir dari atas gunung ke bawah mengajarkan
kami bahwa kelak ketika kita berada diatas atau menjadi pemimpin kita
harus mendatangi orang dibawah atau turun langsung ke bawahan, bukan
bawahan yang mendatangi pemimpin. Begitu pula dengan pemimpin
pemerintahan, bukan rakyat yang mendatangi pemimpin tapi pemimpinlah
yang mendatangi rakyatinya. Mungkin Filosofi inilah yang digunakan oleh
Jokowi.
Matahari akan segera muncul tapi kami belum
menemukan sungai untuk berwudhu dan membersihkan kotoran yang daritadi
menempel dibadan dan pakaian yang kami kenakan. Akhirnya kami
meneruskan perjalanan, terlihat juga banyak daun kotor penuh debu dan
tanah ,
embun datang menyeka dan menyegarkan daun-daun tersebut.
Di
bawah pohon –pohon terdapat banyak daun yang berguguran yang juga
mengingat sebuah judul buku “Daun yang jatuh tak pernah membenci angin”
karya tereliye.
Daun yang berguguran karena goyangan
angin tak pernah membenci mangin begitupun tak membenci tangkainya yang
tak memegang erat dirinya. Ia sadar, syarat – syarat untuk berguguran
sudah terpenuhi, tubuhnya sudah lemah dan umurnya sudah tua. Ia tidak
menyalahkan siapapun karena sadar akan kondisinya,berbeda dengan kita
yang tak melihat secara bijak kondisi dan kemampuan kita , ketika jatuh ,
gagal dan kalah kerapkali menyalahkan orang lain, nasib, sistem, bahkan
Tuhan. Daun pun gugur tidak meninggalkan masalah atau tidak menjadi
pengganggu bagi ekosistem kehidupan namun menjadi sumber bagi tumbuhnya
daun-daun baru yakni menjadi pupuk kompos, Daun yang gugur menutup
akhir hayatnya dengan memberikan kebermanfaatan yang sangat luas.
Ketika kelak kita akan meninggal, apakah kita akan meninggalkan masalah
buat keluarga, teman, dan semesta atau seperti daun yang memberikan
manfaat kepada manusia dan alam.
Dalam pendakian ini karakter sesungguhnya
manusia
terbaca, karena banyaknya cobaan , lelah, hujan, angin dll apakah teman
mau membantu kita ketika sakit atau terjatuh, mau menemani kita untuk
beristirahat dan tidak meninggalkan kita. Kami melihat sesama pendaki
saling membantu dan tolong menolong seperti yang dialami oleh salah
seorang rombongan kami pada saat perjalanan pulang ,yang tak kuat
membawa tasnya dan pendaki lainnya menolong membawakan tasnya begitu
juga semangat berbagi makanan ketika berada disana. Muncul dalam benak
kami, apakah nilai nilai ini (saling membantu, tolong menolong dan
berbagi) hanya berlaku di tempat ini saja, kenapa sangat jarang kami
melihat pendaki – pendaki atau mahasiswa pecinta alam yang kami temui di
kota Makassar tak seperti ketika berada di gunung atau alam , nilai –
nilai itu seolah sirna. Entahlah ! mungkin Kota bukan bagian dari alam.
Semua yang pernah ke Ramma’ atau Gunung Bawakaraeng tak asing dengan binatang kecil ini
|
Pacet Ramma |
Pacet
sejenis dengan Lintah ,binatang yang doyan darah berukuran sebatang
lidih dengan panjang kira-kira 3cm – 8cm. Jika tidak berhati – hati maka
bisa dipastikan akan menempel dibagian tubuh kita. Seperti yang kami
alami pada saat berada dipinggir sungai. Walaupun menghisap darah kita
sedikit tapi
Pacet mengajarkan kita untuk berbagi
darah, menyadarkan kita bahwa banyak semesta yang membutuhkan darah
seiring banyaknya pertumpahan darah antar manusia, menghisap darah
kotor kita , apakah betul makanan yang kita konsumsi mengalir ketubuh
kita adalah halal atau .memang hak kita , lintah menghisap darah – darah
kotor itu dan sepulang dari hutan ini darah kita akan menjadi bersih.
|
Puncak Talung |
Kabut dan awan
membatasi jarak pandang kita untuk melihat puncak gunung dan awan
membatasi penglihatan kita melihat isi langit. Mungkin sampai saat ini
kita masih belum menemukan hakikat kemanusiaan kita , jati diri kita,
hakikat kehidupan karena masih banyaknya dosa – dosa kecil yang
berkumpul dan melayang – layang menyelimuti “hakikat” yang kita cari,
sebagaimana kabut yang merupakan kumpulan tetes-tetes air yang sangat
kecil yang melayang-layang di udara menghalangi penglihatan kita untuk
mencapai puncak gunung. Tak mudah untuk mencapai tujuan (
Puncak Gunung/Talung),
butuh keringat, butuh jatuh, butuh tenaga, butuh beban, butuh
kerjasama, butuh manajemen,banyak terpaan angin, terpaan hujan . Semakin
tinggi gunung semakin berat ujiannya dan semakin tinggi dakian semakin
dekat dengan Tuhan.
|
Lembah Ramma |
Dari talung kita meneruskan perjalanan kebawah lembah ramma untuk mendirikan tenda dan ternyata
tracknya menguji nyali
. Lembah Ramma mengajarkan bahwa pembelajar yang
tawaddu adalah ia yang paling banyak ilmunya, sebagaimana lembah yang rendah adalah lembah yg paling banyak airnya.
Pada
malam hari kita menikmati bulan begitu dekat sambil meminum madu. Kita
menikmati alam(bulan madu) agar kita lebih dekat dengan Tuhan.
Begitulah kita menafsirkan bulan madu, walaupun bulan hanya nampak
sebentar saat itu.
Perjalanan naik dan turun gunung mengingatkan kami dan berusaha merefleksikan empat perjalanan manusia menurut mullashadra (
Al-Hikmah al-Muta’āliyyah.) sebagai sebuah bagian perjalanan ruhani yang harus dilewati oleh setiap manusia yang hendak menggapai kesempurnaan.
Perjalanan pertama ;
Safār min al-Khalq ila al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju Tuhan).
Perjalanan kedua :
Safār bi al-Haq fi al-Haq (Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan).
Perjalanan ketiga ;
Safār min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari Tuhan menuju Makhluk bersama Tuhan).
Perjalanan keempat ;
Safār min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan).
Jika ada perjalanan nol mungkin kami berada pada tingkatan tersebut.
* Manusia,sungai, Akar, batu, berbagi, membantu, tujuannya hanya satu : Menyatu.
*
Kami berhipotesis bahwa semakin sering manusia ke gunung/ bersentuhan
dengan alam maka manusia itu semestinya semakin dekat dengan Tuhan
pencipta Alam.
* Mungkin banyak pendaki yang menaklukkan gunung-gunung tinggi tapi jiwanya sendiri ia tak bisa taklukkan.
Terima kasih buat Tata Mandong yang terus menjaga keindahan ramma & bawakaraeng.
Terima
kasih buat crew philosophia. (Nufaj,Mamet,Oka,Afif,Chali,Darsam,Idil
& Mamad, "'maaf ,fotonya belum sy dapatkan jadi tdk ditampilkan"')
Bahwa Ramma adalah Cinta.